Menurut data yang dirilis aljazeera, hingga 1 Maret lalu angka kematian warga palestina akibat bombardir Israel telah mencapai 30.035 korban. Lebih dari setengahnya adalah wanita dan anak-anak.
Derita mereka belum usai. Pembantaian masih terjadi. Bantuan-bantuan yang mengalir dari berbagai negara masih saja diblokade, baik oleh militer atau pun penduduk sipil Israel, yang berdampak pada kelaparan parah warga Palestina.
Tidak ada makanan, tidak ada air bersih, tidak ada air minum, obat-obatan atau fasiitas kesehatan yang memadai. Tidak ada listrik, tidak ada tempat tinggal. Bahkan camp pengungsian pun tidak terjamin aman.
2 juta orang terkunci dalam sebuah “penjara” besar bernama Gaza. Tidak ada yang bisa keluar. Tidak ada yang boleh masuk.
Para penghuninya terpaksa memakan rumput untuk bertahan hidup dan meminum air laut tanpa peduli bahayanya terhadap kesehatan mereka.
Di sudut lain, mereka yang bersimpati hanya bisa mengumpat. Negara-negara di dunia hanya bisa mengutuk. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Seolah tidak ada harapan.
Dan mereka yang menyebut dirinya “para pemimpin dunia” selalu tampak ragu untuk berkata “hentikan kegilaan ini!”.
Entah itu menunjukkan kehati-hatian atau bukti lainnya dari sebuah kemunafikan. Sebuah standar ganda.
Kita menyaksikan bencana kemanusiaan terburuk sepanjang sejarah peradaban modern. 30 ribu lebih nyawa melayang hanya dalam 152 hari. Itu belum termasuk korban luka. Belum termasuk mereka yang harus diamputasi dan kehilangan masa depan mereka.
Entah kebencian macam apa yang merasuki sekelompok manusia hingga melihat nyawa manusia lain bagai tak berharga. Bahkan memandang mereka lebih rendah dari kotoran.
Begitu mudahnya memuntahkan ribuan bom dari udara di tengah warga sipil, seolah mereka boneka-boneka jerami tak bernyawa.
Entah ketakutan macam apa yang menyelimuti sehingga melakukan serangan yang begitu membabi buta?
Apakah begitu menakutkan melihat seorang bocah melempari tank dengan sebongkah batu? Apakah sebuah ancaman seorang ibu hamil yang menunggu-nunggu kelahiran buah hatinya di ranjang rumah sakit?
Apakah perlu membakar seluruh hutan untuk memburu seekor rusa?
Kebenaran dan keadilan tampaknya tidak berdaya di hadapan kekuatan yang besar. Kejahatan yang begitu jelas dapat terus melenggang, tanpa ada yang mampu menghentikannya. Keadilan hanya berarti jika sesuai kepentingan mereka yang lebih kuat.
Jika seorang penjahat jauh lebih kuat dari sang hakim dan si penjahat menolak dihukum karena dirinya merasa benar, maka sang hakim tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, bukan tidak mungkin, bisa berbalik membenarkan si penjahat. Dan si hakim menjadi terdakwa.
Sayangnya, itulah cara kerja dunia di mana kita tinggal saat ini.
Masih haruskah kita percaya dengan keadilan? Tentu. Namun untuk mewujudkan itu, orang perlu kekuatan. Tanpa itu, perjuangan keadilan hanya akan berakhir dengan kata-kata. Teguran keras, sumpah serapah atau sekedar kutukan.
Dan agama kita mengajarkan untuk menghentikan kemunkaran dengan kekuatan/kekuasaan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu, maka cukup dengan hati. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.