Dalam sebuah kesempatan pengajian bulanan wali santri (03/2021), K.H. Tatang Haitami, M.Ag, sesepuh pesantren dan juga pembina Yayasan Ibnu Sina, menyampaikan bahwa menjadi santri bukan hanya tentang menjadi cerdas intelektual saja, tetapi juga cerdas aqidah atau spiritual, dan cerdas dalam hal muamalah atau sosial.
Dua yang terakhir inilah yang menjadi ciri khas seorang santri. Tidak seperti kecerdasan intelektual, melatih kecerdasan muamalah dan aqidah diperlukan penghayatan dan pembiasaan. Dan itu hanya dapat dilakukan secara efektif di lingkungan pesantren.
Lalu apakah itu penting? Tentu saja penting. Karena peradaban manusia bukan hanya dibangun di atas fondasi pengetahuan, melainkan juga tatanan sosial dan budaya. Pada saat yang sama, manusia perlu menyadari eksistensinya di dunia sebagai makhluk yang diberi amanah untuk memelihara dan menjaganya. Hanya dengan begitu, pengetahuan melahirkan kebijaksanaan. Dan kemajuan membawa pada kemanfaatan, bukan kehancuran perlahan-lahan.
Maka memilih menjadi santri adalah istimewa. Terlebih ketika setiap orang di zaman ini cenderung pada perilaku materalistik dan individualis; ketika setiap orang diajarkan cara menjadi sukses di mana sukses berarti mendapat pekerjaan dan uang.
Kamu harus belajar yang rajin, supaya kamu dapat kerja!
Buat apa mesantren, nanti susah cari uang!
Menjadi santri itu istimewa. Betapa tidak, pertama kali datang ke pesantren lalu harus berpisah dari orang tua. Di sisi lain, orang tua merelakan buah hatinya dalam pengasuhan para ustadz untuk waktu yang lama.
Karena apa? Tentu bukan karena tak sayang atau berharap si anak kelak pandai mencari uang. Harapan mereka adalah agar anak-anak mereka menjadi orang-orang yang berbudi, paham tujuan hidup di samping berpengetahuan. Mereka berharap anak-anak mereka menjadi manusia seutuhnya.
Lahirnya pesantren-pesantren saat ini, khususnya yang bercorak khalafi, mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang mengedepankan keutuhan dimaksud. Di satu sisi ini positif, di sisi lain, menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang banyak bermunculan belakangan ini untuk menjadi lebih baik dan mampu menjawab tantangan zaman serta kebutuhan masyarat.
Pesantren harus mampu mengorientasikan model pendidikannya secara tepat dan bukan sekedar terbawa tren. Pesantren harus berhasil melahirkan anak didik santri yang mewakili gambaran kemodernan yang islami, bukan sekedar representasi dari konservatisme dan tradisionalisme belaka, apalagi radikalisme.
Pondok pesantren Ibnu Sina secara sadar membentuk anak-anak didiknya dalam terang pemahaman ini. Konsep pendidikannya bersifat holistik dan diarahkan pada seluruh aspek kepribadian anak. Selain itu, gagasan kemodernan yang tampak dalam visi dan penerapan teknisnya tetap tidak melupakan khazanah klasik yang sarat hikmah, yang perlu terus digali dan diadaptasi.
Tidak heran, para santri Ibnu Sina ditempa kemampuannya dalam memahami kitab-kitab salafi di samping pembelajaran formal untuk memenuhi tuntutan kekinian. Adapun di luar kurikulum, para santri juga ditempa melalui berbagai program pembiasaan, keahlian dan kepemimpinan.
Harapannya, para lulusan Ibnu Sina kelak menjadi manusia seutuhnya sebagaimana dimaksud K.H. Tatang Haitami; menjadi manusia-manusia berpengetahuan luas, terampil, religius, dan mampu berkontribusi dalam pergaulan sosial.
Manusia-manusia utuh inilah yang nantinya akan diandalkan menjadi para pewaris agama, bangsa dan kemanusiaan untuk membawanya ke level peradaban yang lebih tinggi. Sebab itulah santri dianggap istimewa. Karena mereka sejatinya utuh sebagai hasil dari proses penempaan yang cukup lama dan lengkap.